Jumat, 13 Maret 2015

Tempe vs Dollar

Beberapa hari ini topik hangat di media adalah ambruknya mata uang garuda. Kurs rupiah terhadap dolar amrik yang sejak pemilu ogah beranjak dari 10ribu, sekarang tersungkur mendekati 13ribu.
Bahkan milis corporate tpt saya mencari nafkah pun heboh, maklum dengan pendapatan rupiah dan hutang dolar jelas saja ambruknya sang garuda seperti pukulan jab telak buat kami. Yang terjadi adalah panic mode on, kebijakan pengetatan anggaran jd andalan (bukanne dr dulu jg harus begitu he he)
Ah tapi biarlah itu dipikirkan para dewa, saya yg cuma buruh ya tinggal manut.

Yang mengusik pikiran saya dan buat saya galau adalah sebuah berita di media nasional versi online hari ini. Bahwa ambruknya sang garuda berakibat naiknya harga tempe dan tahu !
Whatsss!!! Saya sebagai penggemar berat tempe, jelas ga terima.
Menurut asosiasi pengrajin tempe, kurs dolar mengakibatkan harga kedelai naik dari 7500/kg menjadi hingga 12500/kg. Lebih 50% boss! Padahal si garuda cm letoy sekitar 15%.
Menurut mereka lagi dari 2juta ton kedelai indonesia 80% adalah impor dr amerika dan brasil.
Kenaikan harga tempe karena dolar menurut saya multipplier effectnya dahsyat! Kalo istilah kerennya berdampak sistemik.

Kenapa demikian?
Cerita mulanya begini, jika dolar menguat dan garuda letoy, maka ekonomi lesu dan  perusahaan akan mengetatkan ikat pinggangnya. Kami para buruh akan terpengaruh dengan melayangnya sejumlah fasilitas atau bonus atau kenaikan gaji.   Lalu kami akan menekan pengeluaran. Misalnya mengurangi jajan di mall, atau jajan di warung. Di sisi lain  harga makanan sudah melambung karena dipicu kenaikan lauk tempe dan tahu. Maka lebih afdol bagi kami untuk membawa bekal dari rumah (non tempe tahu) drpada membeli di warung kaki lima. So rekan buruh di mall dan warung kaki lima akan terasa efeknya. Omzet mereka akan menurun dan akan berpengaruh ke tukang ojek, pak becak untuk mengurangi cost transport. Ujung-ujungnya bakul pasar akan kekurangan pembeli. Jika transaksi di pasar lesu, maka penjualan tempe dan tahu yg sudah mahal akan semakin sedikit. Efeknya pada para pengrajin tempe dan petani. Seterusnya dan seterusnya. Luar biasa kan?

Ah smoga saja tidak terjadi. Semoga saja pemerintah masih semangat untuk menata tata niaga tempe demi rakyat mereka tercinta. Rakyat seperti saya yang lidahnya  dilahirkan hanya bisa menikmati tempe.

So sambil makan siang, saya menggigit pelan2 tempe goreng sambil menikmati setiap butir kedelainya dan berharap ini bukan saat terakhir menikmatinya.

Selasa, 10 Maret 2015

Plurality in Solitude

Saya teringat kata2 itu dari artikel lama milik Goenawan Muhammad. Artinya yang saya pahami adalah "kesepian yang memajemuk". Weitsss opo itu...
Pernahkah anda duduk di suatu kereta atau bis atau dalam suatu antrian dengan orang2 yang tidak satupun anda kenal?
Pasti pernah....
Padahal tujuan yang mau kita tuju sama, tp mungkin kita memilih untuk diam, ato sekedar basa-basi lalu sibuk dengan dunia masing2.
Ya itu yg sering saya alami di setiap perjalanan, saya bukan tipe sok akrab yang mencoba memperkenalkan diri lalu ingin tahu dengan siapa atau apa atau mau kemana atau ada perlu apa....ga saya termasuk orang yg tidak perduli dengan urusan orang lain.
Dalam kehidupan, kadang berlaku hukum yang sama, tujuan kita sama tapi kita memilih untuk menempuhnya sendiri. Padahal mungkin kita bisa belajar atau memperoleh sesuatu dari orang lain.
Mungkin...