Senin, 13 Oktober 2014

Anakmu Bukan Milikmu

Sebagai pelaku PJKA alias Pulang Jumat Kembali Ahad, minggu malam sambil menunggu kereta adalah sebuah moment buat saya. Moment berat meninggalkan anak dan istri tercinta, moment untuk meyakinkan diri bahwa yang dilakukan dengan jauh dari keluarga memang pantas, mangsudnya bahwa memang ini suatu kewajiban sebagai kepala keluarga.....hadeww...

Sayangnya moment saya terganggu mendengar amarah seorang ibu yang duduk tidak jauh dari tempat duduk saya kepada anaknya. Suaranya keras mengalahkan pengeras suara stasiun.....seakan2 ibu ini ingin semua telinga mendengar, termasuk telinga saya mau ga mau ikut menguping (namany juga kuping).

Ibu itu memarahi anaknya karena mengompol, usia anakny lebih kurang 3 tahun....(wajarlah masih ngompol menurut saya). Amarahnya meledak-ledak, mengalahkan suara tangis si anak. Si Bapak menghampiri si Ibu dan berusaha menenangkan istrinya; "malu bu diliat orang" kata si Bapak.  Tapi amarah si Ibu malah meledak "biar semua orang tau, kalo anak ini suka ngompol !!!" Si anak menangis keras dan matanya yang berlinang menatap saya.....seakan-akan anak itu minta tolong....(jleb moment)

Ga tahan dengan tatapan si anak, saya beringsut menjauh, menunduk menyesal dan ingin minta  maaf pada si anak. Saya pindah ke bangku di sudut stasiun sambil merenung. Saya ingat beberapa kejadian ketika memarahi anak saya (yang sering saya sesali sampai sekarang). Saat emosi meledak, bahkan tangis anak malah menambah tekanan darah meluap jauh diatas kepala.

Luar biasaya setelah amarah kita berlalu, dan rasa sesal mulai muncul, maka si anak akan kembali tersenyum seakan tak punya dendam. Tawa dan senyum malaikatnya membuat saya seakan jatuh ke dalam lubang penyesalan yang sangat dalam. Merasa tak pantas dan hina (lebay !)

Tapi itu benar saya rasakan. Dan itu yang memotivasi kita untuk jadi orang tua yang lebih baik. Saya tidak ingin menghakimi si Ibu tadi, sekalipun dia bukan hanya memarahi si anak tapi juga merenggut harga diri si anak (ups.. sorry bu).

Saya pun teringat satu sajak Khalil Gibran :

Anakmu bukan milikmu

Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.



Sang Maha Hidup hanya menitipkan si anak pada kita, menitipkan...tidak lebih.
Dan kita membesarkan dia sebagaimana Sang Maha Hidup inginkan. Menjadi sebuah pribadi menjadi manusia seutuhnya.
Bukan hak kita membelenggunya dan menghinanya karena ia adalah titipan Sang Ilahi. Kita adalah sang busur yang memberi wadah kehidupan dalam bentuk jasmani dan kasih sayang.
Bukan untuk membentuknya seperti mau kita, hanya mengajarkan mana baik dan mana buruk.
Tidak mudah untuk menjadi orangtua, tapi itu indah.

Sejuta maaf untuk anakku, tumbuhlah sebagaimana keinginan-Nya. dan terimakasih karena telah mengajarkan kami menjadi orang tua. Amin.

Salam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar