Jumat, 17 Oktober 2014

Pendidikan

Seorang kawan yang bekerja di bagian HR sebuah MNC mengeluh mengenai susahnya mencari talent yang mampu memenuhi standar perusahaannya. dari sekian kali proses rekrut hanya menghasilkan segelintir yang lolos dan itupun akan berguguran ketika menjalani training. Dia menyalahkan sistem pendidikan Indonesia yang sudah melenceng dari esensinya. Output yang dihasilkan hanya "bagus diatas kertas" masih jauh dari yang diharapkan.

Hadeww saya merasa tersinggung juga,maklum rekan satu ini punya background lulusan "internasional" alias bukan produk sekolah dalam negeri seperti saya. Karena malu bertanya pada rekan satu ini saya pun bertanya pada mbah google, mengenai apa sih  pendidikan itu. Dan muncullah satu istilah : pedagogi ; yang merujuk pada kegiatan belajar, pembelajaran dan kegiatan yang berhubungan dengan proses belajar tsb.

Pencarian selanjutnya adalah proses pembelajaran dan evaluasi hasil belajar. Menurut Bloom (1956) kawasan manusia belajar ada tiga domain yaitu : Kognitif; berkaitan pengetahuan dan keterampilan intelektual, Afektif ; berkaitan aspek perasaan dan emosi, terakhir Psikomotorik ; berkaitan kemampuan atau keterampilan fisik. Jadi kasarnya pendidikan untuk kepala, hati dan tangan. Saya kok jadi teringat konsep tridaya atau konsep Ki Hajar Dewantara mengenai Cipta Rasa dan Karsa. (Mirip sepertinya, padahal jauh lebih tua konsep Ki Hajar Dewantara)

Lalu hubunganny dengan rendahnya kualitas pendidikan Indonesia ? Menurut  wejangan Simbah Google dari berbagai sumber, pendidikan Indonesia lebih banyak menekankan mengenai aspek kognitif. Yang penting si murid menguasai materi yang diberikan. Aplikasi dan implikasi dari ilmu tidaklah menjadi prioritas. Karena KPI guru sangat bergantung dari hasil akhir ujian si murid (kasian para guru)

Bertolak belakang dengan pendidikan di negara lain, di Jepang faktor afeksi memiliki penekanan yang kuat, buktinya bahwa sejak kecil anak diajarkan untuk ber empati, nilai utama adalah tanggungjawab sosial, apa yang kita lakukan akan berpengaruh pada orang lain. Ga heran mereka sangat menghormati hak orang lain, (etika sosial), bagaimana dengan disini?

Di beberapa negara eropa usia taman kanak-kanak pelajaran calistung alias baca tulis hitung diperkenalkan bukan diwajibkan. Aspek terpenting pada pendidikan mula adalah psikomotorik dasar, afeksi dasar (etika sosial/lingkungan) dan cara berfikir/logika dasar. Di Indonesia, kurikulum Taman Kanak-kanak menwajibkan lulusannya untuk bisa membaca, menulis dan berhitung dasar. Luar biasa maju bukan (?!) Tapi kok hasil akhirnya ga qualified ya?

Saya teringat waktu SD saya pernah bertanya pada bu guru mengenai mengapa harus belajar matematika ? Karena wajib dan biar dapat nilai bagus. Dan sejak saat itu saya tidak suka matematika. (ha ha ha ga nyambung..) .

Sesuai wejangan Simbah Google saya pun mencari mengenai daftar kurikulum Indonesia sampai tingkat SMU, itu luar biasa buanyak..... Masalahnya berapa banyak yang kita gunakan saat bekerja, hanya sedikit. Sejuta rumus yang dihapalkan (yang lupa sejuta satu) dari SD sampai SMU hanya segelintir yang termanfaatkan.
Dihapalkan? ya ini dia salahnya, sedari SD kita (kita? saya aja kalee) dibiasakan untuk mengingat rumus tanpa mengetahui logika dasar dari rumus itu. Secara ga sadar ini mengebiri logika berfikir para murid. Tapi toh nilainya akan tetap bagus karena sebelum UN para murid akan dibombardir dengan sejuta tryout dan saat ujian kita akan ingat karena sudah tercuci otaknya oleh kebiasaan mengerjakan soal-soal itu. Setelah ujian lupa....

Faktor dominan kesalahan kedua adalah, berkaitan afeksi atau pembentukan karakter. Pendekatan mengenai pendidikan karakter lebih ditekankan pada agama. (Weits....sorry sensitif ini). Pernah dengar waktu hebohnya kegiatan mencontek masal waktu UAN ? Yang ditekankan oleh para pendidik agar juniornya tidak mengulangi lagi adalah kampanye "bahwa mencontek itu dosa". Pernah ga terpikirkan bahwa para murid mencontek berjamaah lebih karena stress atas tekanan ketidaklulusan? Kalo dosa, toh minta ampun kan masih bisa, karena Ia Maha Pengampun.

Agama berkaitan dengan dogma yang tidak bisa terbantahkan. Sementara yang diperlukan untuk pendekatan afeksi ini adalah bukan memposisikan secara vertikal dengan Tuhan, tapi dengan sesama baik manusia atau lingkungan. Akhirnya lagi-lagi yang ada adalah cuci otak, tanpa ada pemahaman. Produk dari pendekatan seperti ini terlihat sekarang; tawuran , vandalisme, narkoba bahkan korupsi .

Jadi logika bodoh saya seperti ini; ketika seseorang memiliki pola pikir bahwa ia adalah bagian dari suatu kehidupan, dia akan bersikap menghormati kehidupan di sekitarnya. Sikap menghormati muncul karena faktor kebutuhan bahwa ia juga membutuhkan lingkungannya karena faktor emosi (cinta) , lebih sederhana dan bermakna bukan?

Pada akhirnya, saya terpaksa setuju dengan rekan saya itu, memang saya termasuk produk cacat sistem pendidikan yang takabur. Tapi setidaknya saya ingin memperbaiki diri. Semoga.


Salam.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar